Mari Belajar ke Swiss
MULAI 6 hingga 9 Juli lalu, Presiden Swiss Doris Leuthard
berkunjung ke Indonesia. Dalam kunjungan kenegaraan itu, ikut sejumlah
pejabat tinggi negara dan pengusaha papan atas. Mereka akan mengunjungi
sejumlah proyek di Jakarta dan Surabaya. Meski terkenal sebagai negara
kaya, mereka cukup naik pesawat komersial. Tidak perlu menyewa, apalagi
membeli pesawat sendiri. Orang Swiss terkenal sangat efisien.
Memang, ketika saya tiba di Swiss pada Maret lalu, sebagai mantan
wartawan dan anggota DPR, perhatian saya langsung tertarik pada masalah
sistem politik di Swiss, khususnya parlemen. Tentu saja ini terkait
dengan segala macam hiruk-pikuk di DPR. Termasuk, usul yang agak aneh:
minta dana konstituensi Rp 15 miliar per anggota.
Sebelum ke Swiss, pemahaman saya tentang demokrasi hanya dua. Yakni,
sistem parlementer ala Westminster di Inggris atau sistem presidensial
di Amerika Serikat. Tapi, sekarang harus saya koreksi karena ada sistem
demokrasi langsung atau direct democracy ala Swiss.
Sistem demokrasi langsung tersebut sudah lama menjadi tradisi dan
setidaknya dalam konstitusi Swiss 1849 sudah dicantumkan. Inti sistem
itu adalah kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh rakyat.
Dalam sistem tersebut, semua kebijaksanaan pemerintah yang memengaruhi
hajat hidup orang banyak bisa dibatalkan bila tidak didukung mayoritas
rakyat melalui mekanisme referendum.
Misalnya, ketika Swiss memutuskan menjadi anggota PBB, hendak
membubarkan tentara, dan terakhir tentu saja soal menara masjid.
Referendum bisa berasal dari inisiatif pemerintah maupun rakyat. Setiap
warga Swiss berhak mengajukan referendum untuk membatalkan keputusan
parlemen, asalkan bisa mengumpullan 50.000 tanda tangan yang
mendukungnya dalam tempo 100 hari sejak UU disahkan parlemen.
Misalnya, parlemen Swiss dan pemerintah memutuskan pembangunan pusat
listrik tenaga nuklir (PLTN). Jika ada rakyat yang tidak menyetujui,
mereka bisa membatalkan melalui mekanisme referendum.
Lantaran sebuah undang-undang atau peraturan bisa dibatalkan melalui
referendum, parlemen dan pemerintah tidak sembrono dalam mengambil
keputusan. Akibatnya, pengambilan keputusan atas sebuah undang-undang
sangat lamban karena harus memperhatikan saran dan pendapat dari banyak
pihak, khususnya para stakeholders.
Parlemen Swiss adalah lembaga yang sangat dipercaya masyarakat.
Mengapa bisa demikian? Salah satu penyebabnya, anggota parlemen Swiss
tidak terlalu tamak dengan uang dan fasilitas. Mereka tidak digaji tetap
dan tidak menerima pensiun dari jabatannya tersebut. Karena itu, terasa
sangat aneh kalau ada anggota DPR yang sampai meminta jatah Rp 15
miliar, meski dengan dalih untuk konstituennya.
Memang, menjadi anggota DPR di Swiss merupakan sebuah pengabdian.
Tidak untuk mencari pekerjaan. Meski tidak menerima gaji, anggota
parlemen di sana menerima bantuan transportasi, sewa hotel atau
apartemen, serta bantuan sekretariat atau urusan kantor yang jumlahnya
dalam setahun hanya sekitar USD 100.000. Jumlah itu tampak banyak. Tapi,
jika dibanding pendapatan per kapita rakyat Swiss yang USD 64.000,
jumlah tersebut relatif wajar.
Staf politik KBRI Bern belum lama ini membuat kajian perbandingan
dengan Indonesia. Anggota DPR RI menerima gaji dan fasilitas yang dalam
setahun mencapai Rp 1,5 miliar atau hampir USD 150.000. Itu jelas sangat
tinggi. Jumlah tersebut, bagi banyak pihak, dirasa mengagetkan karena
fasilitas itu diberikan kepada anggota DPR yang rakyatnya hanya
berpenghasilan USD 2.300 per tahun.
Jika dibanding UMR di Swiss, anggota DPR Swiss rata-rata hanya
menerima empat kali rata-rata UMR. Sebab, UMR Swiss adalah 3.300 franc
Swiss. Jika anggota DPR mau meniru gaji atau fasilitas seperti di Swiss,
mereka semestinya hanya menerima sekitar Rp 6 juta. Dengan ”normal”-nya
gaji atau fasilitas anggota DPR tersebut, tidak banyak keluhan terhadap
mereka. Sebaliknya, di Indonesia, rakyat layak marah kalau kinerja
mereka sangat buruk karena gaji dan fasilitas DPR sekitar 100 kali lebih
dari rata-rata UMR.
Di Swiss, bukan hanya anggota DPR yang hidup secara wajar. Misalnya,
ke mana-mana naik trem, bus kota, atau KA yang memang terkenal tepat
dengan jadwal. Para menteri pun hidup normal. Karena itu, tidak heran,
sesekali kita ketemu menteri yang sedang menunggu bus atau trem. Belum
lama ini, saya ketemu seorang pejabat setingkat menteri negara
lingkungan hidup. Dia terheran-heran ketika saya tanya soal mobil
dinasnya. Bagi dia, tidak perlu mobil karena ke mana-mana bisa naik
kendaraan umum atau malah naik sepeda saja.
Warga Swiss sangat prihatin terhadap lingkungan hidup sehingga
listrik boleh diproduksi hanya dengan tenaga air atau nuklir. Batu bara
dan sumber energi lain-lain yang merusak lingkungan dilarang keras.
Karena transportasi efisien dan tepat waktu, sangat jarang orang Swiss
yang menggunakan kendaraan pribadi. Mobil pribadi hanya dipakai pada
waktu weekend.
Swiss juga terkenal produktif dan efisien. Tidak heran, dengan
penduduk 7,7 juta jiwa, mereka bisa mengekspor hampir USD 200 miliar per
tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 230 juta yang hanya
mengekspor sekitar USD 120 miliar. Jelas, kita kalah produktif dari
warga Swiss. Karena itu, sudah waktunya kita perlu belajar ke Swiss,
negara kecil tapi indah dan produktif.
Posting Komentar
Ayo kita ciptakan link blog yang banyak dengan berkomentar gan. !!!